Setiap orang yang hidup di dunia, pasti akan mengalami tua dan sakit. Saya rasa semua orang setuju dengan pernyataan tersebut. Namun, yang membedakan adalah respon tiap-tiap orang setelah mengalami hal tersebut. Ada orang yang bisa dengan lapang dada menerima, namun ada pula yang menolaknya.
Kebetulan dirumah orang tua saya, ada dua nenek yang perlu dirawat. Satu nenek, ibunya ibu mempunyai riwayat hipertensi. Diagnosa dokter, nenek mengalami jantung bengkak juga kadar gula darah agak tinggi. Sebenarnya setiap bulan terkontrol karena rutin melakukan cek (Posyandu balita dan lansia dijadikan satu di hari yang sama). Namun yang membuat tetap tinggi tekanan darah dan gula darahnya adalah pola hidupnya.
Sumber Foto: hellosehat.com
Tindakan pencegahan sebenarnya sudah dilakukan oleh ibu saya. Seperti memberlakukan diet garam dan gula, termasuk santan serta bahan makanan yang sekiranya memicu sakit nenek. Namun karena nenek orangnya keras kepala, jadi tidak banyak membantu. Ketika dirumah diberlakukan diet, nenek malah meminta makanan pada tetangga.
Sedang nenek yang satunya (ibunya bapak), menderita sakit vertigo beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya jika semangat hidupnya masih terpelihara, beliau masih dapat melakukan aktivitas ringan sehari-hari. Namun karena hatinya terluka, nenek memilih untuk tidak banyak bergerak. Jangankan bangun atau berdiri, duduk pun beliau tidak berkenan.
Meski mempunyai penyakit yang berbeda, dua nenek saya memiliki kecenderungan yang sama. Mereka memilih untuk menolak ketuaan dan kesakitannya. Padahal keduanya mempunyai selisih umur yang banyak. Ibunya ibu berumur sekitar 80-an tahun. Sedang ibunya bapak sudah hampir 100 tahun. Saya juga tidak tahu mengapa bisa begitu.
Sebagai asisten perawat yang sudah purna tugas, ibu sudah melakukan apa yang beliau bisa (menurut pengetahuannya selama kurang lebih 38 tahun bekerja di Rumah Sakit). Kami (bapak, ibu, adik) pun mengusahakan atmosfer yang mendukung kesembuhan jiwa nenek berdua. Namun, semua tinggal bagaimana tanggapan mereka atas apa yang diderita dan kuasa Tuhan.
Sumber Foto: health.detik.com
Ada beberapa hal yang saya amati ketika melihat ke-dua nenek saya tersebut. Diantaranya bagaimana mereka menyikapi keadaan yang dialami sekarang dan kemungkinan terbesar yang menyebabkan tanggapan mereka seperti itu. Nenek-nenek saya terbilang cukup cepat mengalami perubahan. Ibunya ibu, dulunya seorang tukang masak yang terkenal di kampung. Sering bepergian ketika muda, termasuk juga ke luar pulau. Saat kakek meninggal, nenek seakan kehilangan pegangan. Rasa kehilangan mengakibatkan nenek memilih bertindak semaunya sendiri. Yang berakibat pada penyakitnya, semakin parah.
Ibunya bapak adalah seorang pengrajin “kepang” dari bambu. Menjadi tulang punggung membuat beliau hanya tahu bekerja, bekerja, dan bekerja saja. Karena itu, anak-anaknya diasuh oleh ibunya nenek dan neneknya nenek. Saat usia menjelang seratus, nenek tidak menyadari hal itu. Maka, ketidaksiapan secara mental-lah yang mendorong sakitnya. Nenek sangat menguatirkan Paklik (paman saya) yang notabene anak bungsu dari 4 bersaudara yang masih hidup. Padahal umur Paman saya sudah kurang lebih 50-an tahun sekarang.
Yang menjadi pemikiran saya adalah mengapa setelah bertahun-tahun berlalu, mereka masih saja belum menerima ke-tua-an dan ke-sakit-an mereka. Padahal itu merupakan kuncinya. Meski tidak mungkin menjadi muda dan sehat lagi seperti dulu, setidaknya mereka dapat memaknai hidup yang masih dianugerahkan Tuhan untuk mereka.
Maka sebagai orang muda, saya berkesempatan belajar beberapa hal:
1. Bersiaplah untuk hal-hal diluar rencana.
Rencana dalam hidup, bisa saja berubah drastis. Namun jangan biarkan keadaan yang menyetir diri kita. Siapkan rencana cadangan, dan bersikaplah fleksibel.
2. Pisahkan hal-hal yang dapat kita rubah dan hal-hal yang tidak bisa dirubah.
Banyak hal yang dapat kita rubah dalam hidup. Seperti anak yang belajar rajin agar mendapatkan nilai yang maksimal. Kita juga dapat berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Namun, akan ada saatnya dimana usaha yang kita lakukan tidak memperoleh hasil yang sesuai. Terjadinya musibah, sakit penyakit, atau bencana alam adalah contohnya. Jangan menyalahkan keadaan dengan berlarut-larut, karena tidak akan merubah kenyataan yang terjadi.
3. Terimalah kekalahan.
Ketika menang dan berada di puncak, terkadang kita lupa bahwa roda kehidupan tidak akan berhenti berputar. Maka, semestinya kita harus belajar bagaimana rasanya kalah dan berada di dasar roda. Penerimaan kekalahan yang wajar dapat membantu kita agar lebih bijaksana saat mengalami kesuksesan.
4. Berusaha memaknai hidup dan keadaan saat ini
Hidup akan terasa lebih berbobot ketika kita mempunyai kesadaran lebih. Tidak menyalahkan Tuhan, keadaan, apalagi orang lain. Segala hal yang kita alami memiliki jalannya sendiri. Hal tersebut lebih jauh akan memunculkan kesiapan mental menghadapi apapun, termasuk kematian.
Sumber Foto: softalley.blogspot.com
Hal-hal yang dipaparkan di atas merupakan hasil permenungan dan pengamatan saya pribadi ketika melihat nenek-nekek saya.
Bagaimana menurut Anda? Apa yang bisa kita lakukan agar dapat menerima ke-tua-an dan kesakitan?
Kebetulan dirumah orang tua saya, ada dua nenek yang perlu dirawat. Satu nenek, ibunya ibu mempunyai riwayat hipertensi. Diagnosa dokter, nenek mengalami jantung bengkak juga kadar gula darah agak tinggi. Sebenarnya setiap bulan terkontrol karena rutin melakukan cek (Posyandu balita dan lansia dijadikan satu di hari yang sama). Namun yang membuat tetap tinggi tekanan darah dan gula darahnya adalah pola hidupnya.
Sumber Foto: hellosehat.com
Tindakan pencegahan sebenarnya sudah dilakukan oleh ibu saya. Seperti memberlakukan diet garam dan gula, termasuk santan serta bahan makanan yang sekiranya memicu sakit nenek. Namun karena nenek orangnya keras kepala, jadi tidak banyak membantu. Ketika dirumah diberlakukan diet, nenek malah meminta makanan pada tetangga.
Sedang nenek yang satunya (ibunya bapak), menderita sakit vertigo beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya jika semangat hidupnya masih terpelihara, beliau masih dapat melakukan aktivitas ringan sehari-hari. Namun karena hatinya terluka, nenek memilih untuk tidak banyak bergerak. Jangankan bangun atau berdiri, duduk pun beliau tidak berkenan.
Meski mempunyai penyakit yang berbeda, dua nenek saya memiliki kecenderungan yang sama. Mereka memilih untuk menolak ketuaan dan kesakitannya. Padahal keduanya mempunyai selisih umur yang banyak. Ibunya ibu berumur sekitar 80-an tahun. Sedang ibunya bapak sudah hampir 100 tahun. Saya juga tidak tahu mengapa bisa begitu.
Sebagai asisten perawat yang sudah purna tugas, ibu sudah melakukan apa yang beliau bisa (menurut pengetahuannya selama kurang lebih 38 tahun bekerja di Rumah Sakit). Kami (bapak, ibu, adik) pun mengusahakan atmosfer yang mendukung kesembuhan jiwa nenek berdua. Namun, semua tinggal bagaimana tanggapan mereka atas apa yang diderita dan kuasa Tuhan.
Sumber Foto: health.detik.com
Ada beberapa hal yang saya amati ketika melihat ke-dua nenek saya tersebut. Diantaranya bagaimana mereka menyikapi keadaan yang dialami sekarang dan kemungkinan terbesar yang menyebabkan tanggapan mereka seperti itu. Nenek-nenek saya terbilang cukup cepat mengalami perubahan. Ibunya ibu, dulunya seorang tukang masak yang terkenal di kampung. Sering bepergian ketika muda, termasuk juga ke luar pulau. Saat kakek meninggal, nenek seakan kehilangan pegangan. Rasa kehilangan mengakibatkan nenek memilih bertindak semaunya sendiri. Yang berakibat pada penyakitnya, semakin parah.
Ibunya bapak adalah seorang pengrajin “kepang” dari bambu. Menjadi tulang punggung membuat beliau hanya tahu bekerja, bekerja, dan bekerja saja. Karena itu, anak-anaknya diasuh oleh ibunya nenek dan neneknya nenek. Saat usia menjelang seratus, nenek tidak menyadari hal itu. Maka, ketidaksiapan secara mental-lah yang mendorong sakitnya. Nenek sangat menguatirkan Paklik (paman saya) yang notabene anak bungsu dari 4 bersaudara yang masih hidup. Padahal umur Paman saya sudah kurang lebih 50-an tahun sekarang.
Yang menjadi pemikiran saya adalah mengapa setelah bertahun-tahun berlalu, mereka masih saja belum menerima ke-tua-an dan ke-sakit-an mereka. Padahal itu merupakan kuncinya. Meski tidak mungkin menjadi muda dan sehat lagi seperti dulu, setidaknya mereka dapat memaknai hidup yang masih dianugerahkan Tuhan untuk mereka.
Maka sebagai orang muda, saya berkesempatan belajar beberapa hal:
1. Bersiaplah untuk hal-hal diluar rencana.
Rencana dalam hidup, bisa saja berubah drastis. Namun jangan biarkan keadaan yang menyetir diri kita. Siapkan rencana cadangan, dan bersikaplah fleksibel.
2. Pisahkan hal-hal yang dapat kita rubah dan hal-hal yang tidak bisa dirubah.
Banyak hal yang dapat kita rubah dalam hidup. Seperti anak yang belajar rajin agar mendapatkan nilai yang maksimal. Kita juga dapat berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Namun, akan ada saatnya dimana usaha yang kita lakukan tidak memperoleh hasil yang sesuai. Terjadinya musibah, sakit penyakit, atau bencana alam adalah contohnya. Jangan menyalahkan keadaan dengan berlarut-larut, karena tidak akan merubah kenyataan yang terjadi.
3. Terimalah kekalahan.
Ketika menang dan berada di puncak, terkadang kita lupa bahwa roda kehidupan tidak akan berhenti berputar. Maka, semestinya kita harus belajar bagaimana rasanya kalah dan berada di dasar roda. Penerimaan kekalahan yang wajar dapat membantu kita agar lebih bijaksana saat mengalami kesuksesan.
4. Berusaha memaknai hidup dan keadaan saat ini
Hidup akan terasa lebih berbobot ketika kita mempunyai kesadaran lebih. Tidak menyalahkan Tuhan, keadaan, apalagi orang lain. Segala hal yang kita alami memiliki jalannya sendiri. Hal tersebut lebih jauh akan memunculkan kesiapan mental menghadapi apapun, termasuk kematian.
Sumber Foto: softalley.blogspot.com
Hal-hal yang dipaparkan di atas merupakan hasil permenungan dan pengamatan saya pribadi ketika melihat nenek-nekek saya.
Bagaimana menurut Anda? Apa yang bisa kita lakukan agar dapat menerima ke-tua-an dan kesakitan?
Berdamai dengan hari tua, saya pernah baca buku judulnya itu Mbak Elizabeth. Sepertinya penerimaan terhadap keadaan apapun jadi kunci utama yaa Mbak. Huhuhu.. Entah bagaimana saya nanti.
BalasHapusIya mbak Dira... Kita tidak pernah tahu apa yang ada di depan. Hanya bisa berharap dan berdoa semoga semua baik adanya. Semangat mbak Dira...
HapusAlhamdulillah, nenek²nya bisa mencapai usia lebih dari 80 thn. Nenek saya dulu jg mencapai usia 84 thn. Ibu mertua mencapai, 85 thn. Dan Mama saya, 88 thn. Memang begitu sih...usia tua tidak menyurutkan untuk beraktifitas, kadang lupa umur. Kalau distop, malah murung dan uring²an. Mbak Seva dan keluarga yg sabar yaaa...
BalasHapusIya mbak, saya beruntung masih bisa melihat nenek dengan usia yang sebegitu. Iya mbak, terima kasih dukungannya untuk saya dan keluarga...
HapusLuar biasa mba Rini, neneknya dikaruniai umur panjang. Memang diperlukan sikap hati yang benar agar karunia itu bisa dimaknai dengan tepat. Semoga nenek diberi kelapangan hati ya... dan keluarga juga diberikan kekuatan dan kesabaran dalam merawatnya.
BalasHapusIya mbak Bety, luar biasa. Saya juga jadi bisa banyak belajar dari mereka. Amin mbak!
HapusBeruntung banget mbak masih punya nenek, masih bisa belajar dan mengambil hikmah
BalasHapusIya mbak... Saya bersyukur masih bisa melihat dan banyak belajar. Jadi ke depannya semoga saya bisa lebih baik lagi.
Hapusbelajar menerima keadaan mulai sekarang, berdoa supaya tidak menyusahkan anak cucu, dan menerima nenek kita apa adaya tanpa mencela karena kita tidak pernah tahu seperti apa saat kita tua nanti. hehe
BalasHapusIya mbak Eni. Terima kasih sudah diingatkan.
HapusIntinya kita harus legowo ya..duatu saat menjadi tua...persiapan ke arah tua he he
BalasHapusBetul mbak... Menerima kenyataan yang ada. Saya juga bersiap ini. Hihihi
HapusYa Alloh, ini dalem banget ya Mbak. Mudah-mudahan saya kelak akan mampu bersikap demikian juga.
BalasHapusIni cuma pengamatan saya saja mbak. Karena punya 2 nenek yang harus diurus. Semoga kita dimampukan ya mbak!
Hapus