Langsung ke konten utama

Review Cerpen WS. Rendra "Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu"

Judul Buku: Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu
Penulis: W.S. Rendra
Tahun terbit: Maret 2017 (cetakan I)
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Jumlah halaman: 198 halaman
ISBN: 978-602-291-279-8




Siapa sih yang tidak mengenal W.S. Rendra? Salah seorang pujangga besar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Beliau lahir di Kota Surakarta, 7 November 1935 dan meninggal di Kota Depok pada tanggal 6 Agustus 2009. Sebenarnya Rendra lebih terkenal karena sajak-sajaknya. Namun mengulik cerpen-cerpennya yang dimuat di Majalah, adalah hal yang tidak kalah menarik.


Di sebuah cerpen karyanya berjudul: " Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu", W.S Rendra mengusung tema percintaan yang agak tragis dan menyakitkan. Cinta manis dan membahagiakan ternyata tidak memihak pada seorang pemuda bernama Ahmad Karnaen serta tokoh utama perempuan yang tidak disebut namanya. Apakah mereka bertepuk sebelah tangan? TIDAK. Mereka saling mencintai satu sama lain. Namun kenyataan membuat jalan takdir yang berbeda untuk mereka.


Cerpen ini diawali dengan pengakuan seorang perempuan yang sangat memuja Ahmad Karnaen.
"Bagi saya, ia sangat luar biasa. Caranya berjalan seperti pemuda bebas yang penuh kegembiraan dalam hidup. Rambutnya sangat hitam, begitu pula alisnya. Ia tidak begitu tinggi, tetapi juga tidak pendek. Kalau ia memasuki ambang pintu rumah, kira-kira ia lebih rendah satu setengah jengkal dari puncaknya. Perawakannya seperti seorang yang suka olahraga. Ia suka tersenyum dan pandai melucu. Ia mempunyai sangat banyak dongeng dan teka-teki. Apabila tertawa suaranya keras sekali" (halaman 2-3).




Ketertarikan gadis muda berumur tujuh belas tahun itu berlanjut, karena Karnaen sering datang ketika kelompok gadis-gadis sedang rujakan. Karnaen adalah pemuda yang menyenangkan karena pintar melucu dan menarik perhatian. Tetapi cerita menjadi berbeda. Ketika si gadis mendengar dari seorang teman yang berkata bahwa Karnaen tertarik pada gadis yang agak pemalu tersebut.


Gadis pemalu akhirnya menjauhi Karnaen. Itu karena teman-temannya lalu menjodoh-jodohkannya dengan pemuda yang sering memandanginya dengan terang-terangan tersebut. Si gadis, yang pemalu itu merasa berdebar-debar dan malu sekali tiap diajak berbicara oleh Karnaen.
"Kalimat saya selalu pendek-pendek sambil muka saya selalu menunduk" (halaman 4).


Dari situlah kesalah-pahaman bermula. Karnaen mengira gadis tersebut marah padanya. Setiap ditanya mengenai sikapnya yang aneh itu, gadis pemalu menjadi bingung dan akhirnya melarikan diri. Hanya itu saja yang bisa ia perbuat tanpa bisa menjelaskan hal sebenarnya.


Beberapa waktu berlalu dengan ketegangan tak tertulis itu. Sampai saat Ahmad Karnaen menemui si gadis dan mendesaknya menjawab beberapa pertanyaan. Akhir perbincangan, Karnaen mengungkapkan perasaannya. Karnaen mencintai gadis pemalu. Mendengar pernyataan pemuda yang dipujanya, si gadis merasa setengah pingsan. Dalam kepanikannya, ia malah lari ke dalam rumah dan mengunci pintu. Meninggalkan Karnaen yang berteriak-teriak memanggil namanya.


Kepanikan gadis pemalu membuat jengkel Karnaen. Tepat setelah peristiwa itu, Karnaen tak lagi mendekatinya. Sama-sama marah dan acuh satu sama lain. Padahal dalam hati si gadis, Karnaen tetap seorang yang dicintai dan dirindukannya. Setiap malam ketika berbaring di tempat tidur, gadis pemalu merasa pedih dan kesal.
"Kenapa semua ini bisa terjadi? Bukankah ia mencintai saya dan saya mencintainya? Namun, kenapa mesti terjadi hal yang berbelit-belit begini? Haruskah saya dengan terus terang mengatakan kepadanya bahwa saya pun mencintainya?" (halaman 10).


Saat Karnaen pergi masuk "Heiho" (pasukan pembantu bala tentara Jepang pada saat Perang Dunia II), gadis pemalu tak bisa mencegahnya. Segala kata-kata berpamitan yang diucapkan Karnaen tidak bisa dijawabnya dengan benar. Maka sampai Karnaen dikirim ke Burma, dan satu tahun kemudian gugur, si gadis terlambat mengungkapkan perasaannya. Rasa sesal dan cintanya pada Ahmad Karnaen ia ungkapkan dengan sangat mendalam serta menyayat hati.




"Saya tetap menjadi miliknya. Pulang sehat, cacat, atau mati, ia tetap kekasih saya. Dan, sebagai bumi yang hanya mengenal satu matahari, hati saya pun hanya mengenal satu kekasih. Karnaen telah memiliki hati saya dan saya tak kuasa melepaskan diri darinya".
(Halaman 14)


Cerpen Rendra yang dimuat di Majalah Minggu Pagi tertanggal 3 Agustus 1958 ini, sukses membius saya. Seakan meraba-raba dan mengorek-ngorek sejarah masa lalu. Membuka fakta tentang percintaan muda-mudi yang sarat norma tak tertulis, yang kerap membuat menangis. Di masa itu gadis mengungkapkan perasaannya pada pemuda adalah "TABU". Cinta yang berbelit-belit, yang kerapkali membuat pelakunya patah hati meski saling mencintai.


Saya tidak sadar bahwa cerpen ini dibuat pada masa-masa setelah Indonesia merdeka. Sepertinya masih seperti waktu-waktu sekarang, sama ketika saya dulu juga pernah mengalaminya. Kisah percintaan memang cerita yang "abadi". Tidak pernah menjadi "antik" apalagi "punah" ditelan jaman.


Perasaan yang perih, bukan karena seseorang yang dicintai tidak membalas cinta. Tetapi karena norma dan keadaan, sehingga memaksa cinta yang ada tidak bisa bersatu. Sungguh suatu hal yang sangat memilukan, bukan?




W.S. Rendra adalah salah satu penulis yang "jenius" menurut saya. Karya-karyanya seakan tidak lekang ditelan jaman. Tetap relevan dan menarik dinikmati. Ceritanya sederhana namun tetap "berbobot". Tidak heran, karena Rendra terlahir dari keluarga ningrat Jawa dan dididik secara modern di sekolah yang dikelola oleh suster Fransiskan dari Misi Katholik Belanda.


Tidak hanya itu. Di rumah pun Rendra juga mempunyai guru yang mengajarinya ilmu kejawen. Bisa dibayangkan bagaimana cara Rendra belajar dan bertumbuh. Ilmu filsafat yang diperoleh di sekolah ditambah ilmu kejawen di rumah, mengantar Rendra pada kedalaman berpikir yang "unik".


Meski sudah wafat, karya-karya W.S. Rendra masih memiliki penikmat tersendiri. Saya adalah salah satu penggemar karyanya. Apakah Anda juga menjadi salah satunya? Nantikan review saya selanjutnya, ya! Terima kasih.



Komentar

  1. Sampai saat ini enggak ada yg bisa ngalahin gaya retorika Rendra kalau baca sajak. Sepertinya menarik juga cerpennya yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, saya kalau sudah sajak, ga berani review karena ga punya basic di sana mbak. Kalau cerpen, karena suka baca cerpen dan novel jadi sedikit berani. Ini karena baru tahu Rendra juga nulis cerpen, saya jadi penasaran. Jadilah beli buku ini.

      Hapus
  2. Hidup banget ya ceritanya. Suka banget saya sama potongan cerita di halaman 14 : " Pulang sehat, cacat, atau mati, ia tetap kekasih saya "
    Gombal yang tegas ^^
    Sampai sekarang karya beliau emang masih enak dinikmati dan selalu terbawa pada ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya meleleh mbak baca kutipan yang itu. Ahhh... Kapan...ada yang gituin? Hihihi. Iya, setuju saya. Karya yang keren menurut saya.

      Hapus
  3. Luar biasa ya mbak, seniman dahulu, karyanya takusang ditelan jaman ...
    Padahal indonesia sedang masa sulit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih mbak Narti. Saya tadinya juga ga nyangka ini tanggal dimuat tahun segitu, lah dibikinnya kan bisa lebih awal lagi. Salut saya mbak.

      Hapus
  4. Jadi penasaran ... saya belum pernah baca bukunya, mbak :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini saya juga ga sengaja nemu buku ini mbak. Baru tahu juga kalau Rendra nulis cerpen juga dulu, tahunya sajak, drama, dll gitu. Hihihi. Beruntung saya jadinya nemu ini. Ayuk mbak dicari bukunya.

      Hapus
  5. Lebih saedih sari renggelamnya kapal vanderwik nih mbak,
    Di tunggu review selanjutnya ya buku wa rendranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap mbak Rahayu Asda... Terima kasih sudah membaca review saya mbak!

      Hapus
  6. WS Rendra selalu punya cara unik menceritakan kisahnya. Saya belum punya buku yang ini Mbak Septarini 😊 jadi pengen beli nich abis baca resensinya. Ingat jaman eyang-eyang kita merajut kisah euuuy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap mbak Dira... Ga terasa kalau ini dibuat sudah setengah abad yang lalu!

      Hapus
  7. Keren mbak reviewnya. Saya baca sampai habis. Penasaran dg cerpennya. Coba ah nanti gugling. Kisahnya selalu unik ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Eni... Yang keren cerpennya, bukan review saya. Hihihi. Semoga ketemu ya mbak Eni bukunya!

      Hapus
  8. Yayaya namanya juga karya Rendra, nggak heran selalu apik dan menarik. Nggak banyak sastrawan yang menulis seperti beliau

    BalasHapus
  9. Bagus, selalu menarik cerita yang dibuat ya, mba. Terima kasih untuk sharingnya :)

    BalasHapus
  10. Belum baca Mbak, jadi mupeng hikss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, saya juga nemu ga sengaja kok mbak! Jadi gelap mata kalau lihat buku!

      Hapus
  11. Mau tanya ini ada tugas dari sekolah dari mana ya letak Analisis nya itu saya bingung hihihi..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berbakti pada Orang Tua: Renungan Diri

Siapa sih yang tidak ingin berbakti pada orang tua? Saya yakin semua orang sangat ingin menghaturkan baktinya pada orang tua, yang telah demikian berjasa pada hidup kita. Mulai dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, hingga kita dewasa sekarang tak lepas dari jerih payah, pengorbanan dan air mata mereka. Masa kecil saya, sampai besar tinggal di daerah berbukit, agak panas dan kering. Mungkin itu juga berpengaruh pada watak saya yang keras dan sukar diarahkan. Saya mempunyai cara hidup sendiri, tidak suka diatur, juga cenderung cuek. Sampai usia tujuh belas tahun, saya merasa tidak banyak orang yang dapat melunakkan hati saya. Termasuk ibu saya.                 Sumber foto: edumor.com Ibu saya adalah seorang asisten perawat di salah satu Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta. Karena profesinya tersebut, saya praktis diasuh oleh nenek (ibunya ibu). Sistem kerja yang dibagi dengan shift, membuat ruang bertemu kami tidak banyak. Ditambah jarak antara rumah dan Rumah Sakit tempat ibu be

Menerima Ke-tua-an dan Ke-sakit-an

Setiap orang yang hidup di dunia, pasti akan mengalami tua dan sakit. Saya rasa semua orang setuju dengan pernyataan tersebut. Namun, yang membedakan adalah respon tiap-tiap orang setelah mengalami hal tersebut. Ada orang yang bisa dengan lapang dada menerima, namun ada pula yang menolaknya. Kebetulan dirumah orang tua saya, ada dua nenek yang perlu dirawat. Satu nenek, ibunya ibu mempunyai riwayat hipertensi. Diagnosa dokter, nenek mengalami jantung bengkak juga kadar gula darah agak tinggi. Sebenarnya setiap bulan terkontrol karena rutin melakukan cek (Posyandu balita dan lansia dijadikan satu di hari yang sama). Namun yang membuat tetap tinggi tekanan darah dan gula darahnya adalah pola hidupnya.              Sumber Foto: hellosehat.com Tindakan pencegahan sebenarnya sudah dilakukan oleh ibu saya. Seperti memberlakukan diet garam dan gula, termasuk santan serta bahan makanan yang sekiranya memicu sakit nenek. Namun karena nenek orangnya keras kepala, jadi tidak banyak memban